Kota Bukittinggi Tercinta
Jam Gadang
Logo Bukittinggi
Nama lain:
Paris Van Andalas
Moto
:
Saayun Salangkah (dari
Bahasa Melayu yang artinya "Melangkah Demi Melangkah")
Kota Bukittinggi adalah salah satu kota di provinsi Sumatera Barat,
Indonesia. Kota ini pernah menjadi ibu kota Indonesia pada masa
Pemerintahan Darurat Republik IndonesiaBukittinggi sebelumnya disebut
dengan Fort de Kock dan dahulunya pernah dijuluki sebagai Parijs van
Sumatra selain kota Medan. Kota ini merupakan tempat kelahiran beberapa
tokoh pendiri Republik Indonesia, di antaranya adalah Mohammad Hatta dan
Assaat yang masing-masing merupakan proklamator dan pejabat presiden
Republik Indonesia.
Selain sebagai kota perjuangan, Bukittinggi juga terkenal sebagai
kota wisata yang berhawa sejuk, dan bersaudara (sister city) dengan
Seremban di Negeri Sembilan, Malaysia. Seluruh wilayah kota ini
berbatasan langsung dengan Kabupaten Agam. Tempat wisata yang ramai
dikunjungi adalah Jam Gadang, yaitu sebuah menara jam mirip Big Ben yang
terletak di jantung kota sekaligus menjadi simbol bagi kota yang berada
pada tepi sebuah lembah bernama Ngarai Sianok.
Letak Bukittinggi menurut geogarafis dapat dilihat pada gambar diatas.
Sejarah
Kota Bukittinggi mulai berdiri seiring dengan kedatangan Belanda yang
kemudian mendirikan kubu pertahanan pada tahun 1825 pada masa Perang
Padri di salah satu bukit yang terdapat dalam kota ini. Tempat ini
dikenal sebagai benteng Fort de Kock, sekaligus menjadi tempat
peristirahatan opsir-opsir Belanda yang berada di wilayah jajahannya.
Kemudian pada masa pemerintahan Hindia-Belanda, kawasan ini selalu
ditingkatkan perannya dalam ketatanegaraan yang kemudian berkembang
menjadi sebuah Stadsgemeente (kota), dan juga berfungsi sebagai ibu kota
Afdeeling Padangsche Bovenlanden dan Onderafdeeling Oud Agam.
Pada masa pendudukan Jepang, Kota Bukittinggi dijadikan sebagai pusat
pengendalian pemerintahan militernya untuk kawasan Sumatera, bahkan
sampai ke Singapura dan Thailand. Kota ini menjadi tempat kedudukan
komandan militer ke-25 Kenpeitai, di bawah pimpinan Mayor Jenderal
Hirano Toyoji. Kemudian kota ini berganti nama dari Stadsgemeente Fort
de Kock menjadi Bukittinggi Si Yaku Sho yang daerahnya diperluas dengan
memasukkan nagari-nagari sekitarnya seperti Sianok Anam Suku, Gadut,
Kapau, Ampang Gadang, Batu Taba dan Bukit Batabuah. Sekarang
nagari-nagari tersebut masuk ke dalam wilayah Kabupaten Agam.
Setelah kemerdekaan Indonesia, Bukittinggi dipilih menjadi ibu kota
provinsi Sumatera, dengan gubernurnya Mr. Teuku Muhammad Hasan. Kemudian
Bukittinggi juga ditetapkan sebagai wilayah pemerintahan kota
berdasarkan Ketetapan Gubernur Provinsi Sumatera Nomor 391 tanggal 9
Juni 1947.
Pada masa mempertahankan kemerdekaan Indonesia, Kota Bukitinggi
berperan sebagai kota perjuangan, ketika pada tanggal 19 Desember 1948
kota ini ditunjuk sebagai ibu kota negara Indonesia setelah Yogyakarta
jatuh ke tangan Belanda atau dikenal dengan Pemerintahan Darurat
Republik Indonesia (PDRI). Di kemudian hari, peristiwa ini ditetapkan
sebagai Hari Bela Negara, berdasarkan Keputusan Presiden Republik
Indonesia tanggal 18 Desember 2006.
Selanjutnya Kota Bukittinggi menjadi Kota Besar berdasarkan
Undang-undang Nomor 9 Tahun 1956 tentang pembentukan daerah otonom kota
besar dalam lingkungan daerah provinsi Sumatera Tengah masa itu, yang
meliputi wilayah provinsi Sumatera Barat, Jambi, Riau dan Kepulauan Riau
sekarang.
Dalam rangka perluasan wilayah kota, pada tahun 1999 pemerintah
menerbitkan PP Nomor 84 Tahun 1999 yang isinya menggabungkan
nagari-nagari di sekitar Bukittinggi ke dalam wilayah kota.
Nagari-nagari tersebut yaitu Cingkariang, Gaduik, Sianok Anam Suku,
Guguak Tabek Sarojo, Ampang Gadang, Ladang Laweh, Pakan Sinayan, Kubang
Putiah, Pasia, Kapau, Batu Taba, dan Koto Gadang. Namun sebagian
masyarakat di 12 nagari tersebut menolak untuk bergabung dengan
Bukittinggi, sehingga peraturan tersebut hingga saat ini belum dapat
dilaksanakan.
Geografi
Gunung Singgalang, dilihat dari kawasan Ngarai Sianok di Bukittinggi
Kota Bukittinggi terletak pada rangkaian Bukit Barisan yang membujur
sepanjang pulau Sumatera, dan dikelilingi oleh dua gunung berapi yaitu
Gunung Singgalang dan Gunung Marapi. Kota ini berada pada ketinggian
909–941 meter di atas permukaan laut, dan memiliki hawa cukup sejuk
dengan suhu berkisar antara 16.1–24.9 °C. Sementara dari total luas
wilayah kota Bukittinggi saat ini (25,24 km²), 82.8% telah diperuntukan
menjadi lahan budidaya, sedangkan sisanya merupakan hutan lindung.
Kota ini memiliki topografi berbukit-bukit dan berlembah, beberapa
bukit tersebut tersebar dalam wilayah perkotaan, di antaranya Bukit
Ambacang, Bukit Tambun Tulang, Bukit Mandiangin, Bukit Campago, Bukit
Kubangankabau, Bukit Pinang Nan Sabatang, Bukit Canggang, Bukit
Paninjauan dan sebagainya. Sementara terdapat lembah yang dikenal juga
dengan Ngarai Sianok dengan kedalaman yang bervariasi antara 75–110 m,
yang didasarnya mengalir sebuah sungai yang disebut dengan Batang
Masang.
Ngarai Sianok
Kependudukan
Masjid Bengkudu dengan kolam di sekitarnya di dekat Bukittinggi, salah satu masjid tertua di Indonesia.
Perkembangan penduduk Bukittinggi tidak terlepas dari berubahnya
peran kota ini menjadi pusat perdagangan di dataran tinggi Minangkabau.
Hal ini ditandai dengan dibangunnya pasar oleh pemerintah Hindia-Belanda
pada tahun 1890 dengan nama loods. Masyarakat setempat mengejanya
dengan loih, dengan atap melengkung kemudian dikenal dengan nama Loih
Galuang.
Saat ini kota Bukittingi merupakan kota terpadat di provinsi Sumatera
Barat, dengan jumlah angkatan kerja 52.631 orang dan sekitar 3.845
orang di antaranya merupakan pengangguran. Kota ini didominasi oleh
etnis Minangkabau, namun terdapat juga etnis Tionghoa, Jawa, Tamil dan
Batak.
Masyarakat Tionghoa datang bersamaan dengan munculnya pasar-pasar di
Bukittinggi. Mereka dizinkan pemerintah Hindia-Belanda membangun
toko/kios pada kaki bukit benteng Fort de Kock, yang terletak di bagian
barat kota, membujur dari selatan ke utara, dan saat ini dikenal dengan
nama Kampung Cino. Sementara pedagang India ditempatkan di kaki bukit
sebelah utara, melingkar dari arah timur ke barat dan sekarang disebut
juga Kampung Keling.
Tahun |
2008 |
2010 |
Jumlah penduduk |
106.045 |
110.954 |
Sejarah kependudukan kota Bukittinggi |
Pasa Ateh Tempo Doeloe
rami pasa ateh lai :D
Pemerintahan
Balai kota Bukittinggi
Sejak tahun 1918 kota Bukittinggi telah berstatus gemeente,
selanjutnya tahun 1930 wilayah kota ini diperluas menjadi 5.2 km². Pada
masa pendudukan Jepang wilayah kota ini kembali diperluas. Kemudian di
awal kemerdekaan Indonesia terjadi tumpang tindih batas-batas wilayah
kota ini karena penetapan sepihak baik masa Hindia-Belanda maupun
Jepang.
Saat ini batas wilayah pemerintahan kota dikelilingi oleh Kabupaten
Agam, dan konfik antara kedua pemerintah daerah tersebut tentang batas
wilayah masih berlanjut, ditambah setelah keluarnya Peraturan Pemerintah
No. 84 Tahun 1999 tentang perubahan batas wilayah Kota Bukittinggi dan
Kabupaten Agam. Dari peraturan pemerintah (PP) ini luas wilayah kota
Bukittinggi bertambah menjadi 145.29,90 km², dengan memasukan beberapa
nagari yang sebelumnya pada masa pendudukan Jepang berada dalam wilayah
administrasi kota Bukittinggi.
Namun seiring bergulirnya reformasi pemerintahan yang memberikan hak
otonomi yang luas kepada kabupaten dan kota, muncul kembali penolakan
dari masyarakat Kabupaten Agam atas perluasan dan pengembangan wilayah
Kota Bukittinggi tersebut. Bagi masyarakat Kabupaten Agam yang masuk ke
dalam wilayah perluasan kota ini, merasa rugi karena dengan kembalinya
penerapan model pemerintahan nagari lebih menjanjikan, dibandingkan
berada dalam sistem kelurahan. Selain itu timbul asumsi, masyarakat kota
yang telah heterogen juga dikhawatirkan akan memberikan dampak kepada
tradisi adat dan kekayaan yang selama ini dimiliki oleh nagari.
Perwakilan
Pada Pemilu Legislatif 2009, DPRD kota Bukittinggi adalah sebanyak 25 orang dan tersusun dari perwakilan sembilan partai.
Pendidikan
Sejak zaman kolonialis Belanda, kota ini telah menjadi pusat
pendidikan di Pulau Sumatera. Dimulai sejak tahun 1872, dengan
berdirinya Kweekschool voor Inlandsche Onderwijzers (sekolah guru untuk
guru-guru bumiputera) atau dikenal juga dengan nama sekolah radja, yang
selanjutnya berkembang menjadi volksschool atau sekolah rakyat. Kemudian
pada tahun 1912 muncul Hollandsch Inlandsche School (HIS), yang
dilanjutkan dengan berdirinya Sekolah Pamong Opleiding School voor
Inlandsch Ambtenaren (OSVIA) tahun 1918. Pada tahun 1926 juga telah
berdiri MULO di kota Bukittinggi.[22]
Pada masa awal kemerdekaan di kota ini pernah berdiri sekolah Polwan
dan Kadet serta sekolah Pamong Praja yang pertama di Indonesia. Fakultas
Kedokteran Universitas Andalas dan FKIP IKIP Padang (sekarang
Universitas Negeri Padang) juga pertama kali didirikan di kota ini
sebelum dipindahkan ke Kota Padang.
Kesehatan
Kota Bukittinggi telah memiliki pelayanan kesehatan yang baik, kota
dengan luas relatif kecil ini telah memiliki 5 rumah sakit, yaitu 3
milik pemerintah dan 2 milik swasta. Selain itu, juga didukung oleh 5
puskesmas, 6 puskesmas keliling, dan 15 puskesmas pembantu. Salah satu
yang utama adalah Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Achmad Mochtar, merupakan
rumah sakit umum milik pemerintah bertipe B dengan jumlah tempat tidur
sebanyak 299.
Rumah Sakit Stroke Nasional yang terdapat di kota ini, merupakan
rumah sakit milik pemerintah dengan pelayanan khusus penyakit stroke,
dan memiliki jumlah tempat tidur sebanyak 124 buah. Rumah sakit ini
merupakan rumah sakit khusus pengobatan stroke pertama di Indonesia dan
ketiga di dunia. Selain itu terdapat juga Rumah Sakit Islam Ibnu Sina,
sebuah rumah sakit swasta yang telah memiliki kapasitas tempat tidur
sebanyak 136 buah.
Sementara itu untuk meningkatkan ketersediaan dan kualitas tenaga
kesehatan dalam rangka meningkatkan pelayanan kesehatan masyarakat,
sampai tahun 2009 terdapat 8 institusi pendidikan tenaga kesehatan di
Kota Bukittinggi. 2 institusi milik pemerintah (Poltekes) dan 6 dikelola
oleh pihak swasta.
Perhubungan
Kota Bukittinggi berada pada posisi strategis Jalur Lintas Sumatera,
yang menghubungkan Padang, Medan, dan Palembang, serta berada di antara
Padang dan Pekanbaru. Terminal Aur Kuning merupakan terminal utama untuk
angkutan transportasi darat di kota ini. Sementara untuk transportasi
dalam kota, tersedia angkutan kota, taksi, dan bendi (kereta kuda).
Sebelumnya kota ini dilalui oleh jalur kereta api yang menghubungkan
Kota Payakumbuh dan Kota Padang, yang dibangun sekitar awal abad ke-20.
Namun pada dekade 1970-an, sarana transportasi ini tidak diaktifkan
lagi. Kota ini juga telah memiliki sarana transportasi udara non-kelas
yang bernama Bandara Bukittinggi.
ternyata Bukittinggi punya bandara
Perekonomian
Perkembangan pasar Loih Galuang yang sekarang disebut juga Pasar
Ateh, membuat pemerintah Hindia-Belanda pada tahun 1900 mengembangkan
sebuah loods ke arah timur, tepatnya pada kawasan pinggang bukit yang
berdekatan dengan selokan yang mengalir di kaki bukit. Karena lokasi
pasar tersebut berada di kemiringan, masyarakat setempat menyebutnya
dengan nama Pasar Teleng (Miring) atau Pasar Lereng. Perkembangan
berikutnya di sekitar kawasan tersebut muncul lagi beberapa pasar, di
antaranya Pasar Bawah dan Pasar Banto. Pasar-pasar tradisional di
sekitar kawasan Jam Gadang ini, kemudian berkembang menjadi tempat
penjualan hasil kerajinan tangan dan cinderamata khas Minangkabau. Dalam
penataan pasar, pemerintah Hindia-Belanda juga menghubungkan setiap
pasar tersebut dengan janjang (anak tangga), dan di antara anak tangga
yang terkenal adalah Janjang 40.
Untuk mengurangi penumpukan pada satu kawasan, pemerintah Kota
Bukittinggi kemudian mengembangkan kawasan perkotaan ke arah timur
dengan membangun Pasar Aur Kuning, yang saat ini merupakan salah satu
pusat perdagangan grosir terbesar di Pulau Sumatera. Disebabkan luas
wilayah yang kecil, sektor perdagangan merupakan salah satu pilihan yang
tepat bagi pemerintah Kota Bukittinggi dalam meningkatkan pendapatan
penduduknya.
Selain itu pemerintah Kota Bukittinggi juga menelurkan beberapa
program dalam mengentaskan kemiskinan, di antaranya pelatihan
keterampilan membordir dan pelatihan pembuatan kebaya, serta penumbuhan
wirausaha baru. Bordir asli Bukittinggi biasanya menggunakan teknik
krancang langsung yang tergolong rumit dan memakan waktu. Ini berbeda
dengan barang hasil serupa buatan Tasikmalaya, Jawa Barat yang
menggunakan teknik krancang solder.
beberapa perekonomian di Bukittinggi
Lubang Japang.. Apa ya isinya ..?? -_-
Hotel The Hills. Mahalkah disana..?? :D
Pariwisata
Jembatan Limpapeh
Limpapeh Bridge
Pembangunan kepariwisataan merupakan salah satu sektor andalan bagi
Kota Bukittinggi. Banyaknya objek wisata yang menarik, menjadikan kota
ini dijuluki sebagai "kota wisata". Saat ini di kota Bukittinggi telah
terdapat sekitar 60 hotel dan 15 biro perjalanan. Hotel-hotel yang
terdapat di kota Bukittinggi antara lain The Hills (sebelumnya Novotel),
Hotel Pusako, dan baru-baru ini juga dibangun Hotel Rocky.
Ngarai Sianok merupakan salah satu objek wisata utama. Taman Panorama
yang terletak di dalam kota Bukittinggi memungkinkan wisatawan untuk
melihat keindahan pemandangan Ngarai Sianok. Di dalam Taman Panorama
juga terdapat gua bekas persembunyian tentara Jepang sewaktu Perang
Dunia II yang disebut dengan Lubang Japang.
Di Taman Bundo Kanduang terdapat replika Rumah Gadang yang berfungsi
sebagai museum kebudayaan Minangkabau. Kebun Binatang Bukittinggi dan
benteng Fort de Kock, dihubungkan oleh jembatan penyeberangan yang
disebut Jembatan Limpapeh. Jembatan penyeberangan Limpapeh berada di
atas Jalan A. Yani yang merupakan jalan utama di Kota Bukittinggi.
Pasar Ateh (Pasar Atas) berada berdekatan dengan Jam Gadang yang
merupakan pusat keramaian kota. Di Pasar Ateh terdapat banyak penjual
kerajinan tangan dan bordir, serta makanan kecil oleh-oleh khas Sumatera
Barat, seperti keripik sanjai (keripik singkong ala daerah Sanjai di
Bukittinggi) yang terbuat dari singkong, karupuak jangek yang dibuat
dari bahan kulit sapi atau kerbau, dan karak kaliang, sejenis makanan
kecil khas Bukittinggi yang berbentuk seperti angka 8. Saat ini juga
telah dibangun beberapa pusat perbelanjaan modern di Kota Bukittinggi.
Olahraga
Lapangan Olahraga Wirabraja
Masyarakat Kota Bukittinggi sangat menyukai olahraga berkuda, dan
setiap tahunnya kota ini mengadakan lomba pacu kuda di Bukit Ambacang,
yang sudah diselenggarakan sejak tahun 1889. Perlombaan pacu kuda ini
merupakan rangkaian perlombaan pacu kuda yang diadakan dibeberapa
kawasan lain di Sumatera Barat. Dengan adanya pelombaan ini, mendorong
para peternak kuda untuk tetap bertahan dan memanfaatkan tradisi ini
sebagai sumber mata pencarian.
Bukit Ambacang
Pers dan media
Sekitar tahun 1924 di kota ini diterbitkan surat kabar Periodik yang
dipimpin oleh S. Moesjafir, kemudian disusul penerbitan surat kabar
mingguan Doenia Achirat oleh Sain al Malik dan Soetan Perpatih, namun
surat kabar ini tidak berumur panjang. Selain itu beberapa tokoh pers
wanita di kota ini seperti Djanewar Djalil dan Sjamsidar Jahja juga
menerbitkan surat kabar Soeara Poetri yang mengetengahkan beberapa isu
emansipasi wanita.
Pada masa pendudukan Jepang, di kota ini pernah didirikan pemancar
radio terbesar untuk Pulau Sumatera. Pemancar ini dalam rangka
mengibarkan semangat rakyat untuk menunjang kepentingan Perang Asia
Timur Raya versi Jepang. Di kota ini terdapat beberapa stasiun pemancar
radio sebagai sarana informasi dan hiburan masyarakat, antara lain: RRI
Bukittinggi, Elsi FM, SK FM, dan GRC FM.
Kota persaudaraan
Kota lain yang menjadi Sister City dari kota Bukittinggi adalah:
Seremban, Malaysia
ini sih katanya yang buat kita mirip ama Seremban
Suasana Jalan Jendral Sudirman, jalan utama di Bukittinggi
Jalan Jendral Sudirman
Niagara, pusat perbelanjaan di Bukittinggi di seberang Jam Gadang
Sekian post saya tentang Bukittinggi. Aligatoooo…..